Riki Bagja Suteja

Karya “Where the currents met” tidak secara gamblang membicarakan keberadaan rempah dan komoditi yang dibawa dalam perdagangan ini, namun justru berusaha untuk memetaforakan ‘koneksi’ yang terjadi di antara perbedaan, dimana dalam hal ini sangat berdampak besar baik secara positif maupun negative bagi negara-negara yang terlibat di dalamnya. Perpecahan dan penyatuan kembali suatu kaum dan kelompok atas nama keuntungan menjadi marak, Seperti yang kita ketahui, kolonialisasi tidak bisa lepas dari ekspedisi rempah ini. Sebagian besar merasakan trauma penjajahan tersebut, namun terlepas dari itu semakin terbukanya jalur perdagangan bisa menjadi keuntungan tersendiri. Menjadi cikal bakal globalisasi, perbedaan kebiasaan, kultur, seni, kuliner, keilmuan dan lain sebagainya perlahan menjadi kabur dan semakin sublim seolah dunia mulai menyatu, meski dalam arti yang berbeda dan tidak selamanya positif.

Dalam karya ini objek visual yang dibentuk adalah abstraksi dari apa yang saya ibaratkan sebagai ‘benua mimpi’ yang tidak diketahui sebelumnya oleh para ekspeditor. Sebuah ekspektasi tanpa jaminan pasti selain cerita-cerita tentang sumber kekayaan. Pecahan-pecahan imajiner yang berisikan ‘desire’ serta Analisa-analisa sementara. Disaat yang sama pecahan imajiner tersebut pada akhirnya membentuk kesatuan baru yang mendesain ulang nilai-nilai kehidupan di tempat tersebut. Karya ‘Where the Currents Met’ sejatinya merupakan susunan kepingan-kepingan ‘desire’ yang secara acak dibentuk sedemikian rupa menyerupai bentuk kepulauan dan benua yang diantaranya terdapat lautan luas yang membentang. Dari susunan itu membawa perubahan yang berpengaruh terhadap kepingan lainnya, kemudian menjadi satu kesatuan baru tanpa ekspektasi selain merupakan perwujudan dari pencarian sebuah mimpi.